Diduakan Hati Ibu Negara Terluka Melangkahkan Kaki Tinggalkan  Istana dan Bung Karno: 7 Fakta Seputar Kehidupan Fatmawati

(Dok:Fatmawati Naik Becak. ©2023 Merdeka.com)

JAKARTA (Surya24.com)  - Sukarno dikenal sebagai tokoh yang sangat dihormati lantaran jasa besarnya bagi kemerdekaan bangsa dan negara. Sukarno juga dikenal sebagai sosok laki-laki berkharisma menawan yang bisa membuat perempuan jatuh cinta.

    Salah satu perempuan yang dibuat jatuh cinta adalah Fatmawati. Demi cintanya kepada sang proklamator, Fatmawati meninggalkan tempat kelahirannya di Bengkulu untuk mendampingi dan mendukung suaminya dalam perjuangan kemerdekaan.

   Dikutip dari merdeka.com, ketika Indonesia merdeka, Sukarno dipilih menjadi Presiden pertama Republik Indonesia. Otomatis, Fatmawati menjadi first lady Indonesia yang pertama. Namun, kisah cinta ibu negara itu berakhir tak bahagia.

Kesedihan Fatmawati

     Fatmawati memilih untuk pergi meninggalkan istana merdeka tak lama setelah kelahiran sang putra bungsunya, Guruh Soekarnoputra. Pada siang hari di Istana Merdeka, Fatmawati menghampiri Sukarno.

    Dia berniat pamit meninggalkan istana negara. Sukarno tak mengabulkan keinginan Fatmawati. Karena baginya, istana adalah rumah mereka yang harus ditinggali bersama.

   "Di sini bukan rumahku, keadaan kita sekarang sudah lain," ucap Fatmawati yang tertulis dalam Catatan Kecil Bersama Bung Karno.

    Ucapan itu ternyata kalimat perpisahan yang dilontarkan Fatmawati. Selepas mengatakan itu, tanpa keributan dan penuh ketenangan, Fatmawati mengucap bissmilah lalu melangkahkan kaki meninggalkan gerbang istana.

    Fatmawati pergi meninggalkan istana dan juga anak-anaknya yang lain. Hanya Guruh yang masih bayi yang dibawa serta ke rumah barunya di jalan Siliwangi, Kebayoran Baru.

     Winoto Danuasmoro, sahabat dekat dan juga orang kepercayaan Sukarno menceritakan peristiwa setelah kepergian Fatmawati. Sukarno meminta bantuannya untuk membujuk Fatmawati kembali ke istana.

    Bung Karno perlu orang ketiga lantaran Fatmawati tidak mau berbicara lagi dengannya. Namun, bujukan Winoto yang bahkan sudah dianggap kakak sendiri oleh Fatmawati, tak digubris.

    "Dengan air mata berlinang bu Fat meminta saya untuk membantu mengawasi anak-anaknya dan juga mengawasi para pengasuh agar tidak kurang apapun," ucap Winoto dalam catatannya.

Alasan Pergi Dari Istana

    Pada 13 Januari 1953, anak bungsu Sukarno dan Fatmawati lahir dengan nama Mohammad Guruh Irianto Soekarno Putra. Saat melahirkan Guruh, Fatmawati kehabisan banyak darah hingga dioperasi. Dokter menyarankan Fatmawati agar tidak mempunyai anak lagi. Alasannya, akan membahayakan kesehatannya.

   Tak Terpublikasi, Momen Perjalanan Fatmawati Soekarno saat Berobat Darah Tinggi Kabar dari dokter dibarengi dengan permintaan suaminya. Bung besar meminta izin untuk menikah lagi dengan perempuan lain.

    "Fat, aku mau minta izinmu, aku akan kawin dengan Hartini," ucap Sukarno yang ditulis Fatmawati dalam buku catatannya.

    Fatmawati tidak setuju. Karena sejak awal dinikahi oleh Sukarno, Fatmawati menolak keras poligami. Jika Sukarno berkukuh menikah, Fatmawati minta dipulangkan ke orang tuanya.

    Akhirnya Sukarno tetap menikahi Hartini. Pernikahan tersebut ditentang oleh semua organisasi wanita di Indonesia. Karena hal itulah first lady Indonesia tetap Fatmawati bukanlah Hartini.

Ogah Dimadu

    Di hadapan pusara ibunya, diiringi rintik hujan, suara lembut Guruh Sukarno Putra mencuri perhatian tamu undangan. Ingatannya menuntun pada lantunan kata tentang sosok ibu yang berjasa bukan hanya bagi dirinya, tapi juga bagi bangsa.

    “Ibu dengan rasa tanggung jawab yang tinggi, menjahit dua bahan yang terdiri dari warna merah dan putih, dengan jemari-jemarinya yang lentik yang selalu mengilhami kami semua. Apa hasilnya, ternyata ibu ditakdirkan menjadi pembuat bendera bersejarah yang kini menjadi bendera pusaka Republik Indonesia,” tutur Guruh dalam memperingati hari kelahiran ibunya pada 5 Februari 1987, sebagaimana dikutip dari buku Ibu Indonesia dalam Kenangan.

 

    Sosok ibu yang dimaksud adalah Fatmawati, yang juga ibu dari Presiden Megawati. Perempuan yang karib disapa Ibu Fat itu lahir di Bengkulu pada 5 Februari 1923, sekitar pukul 12.00 siang, dari pasangan Hasan Din dan Chadijah.

     Dikutip dari idntimes.com, kelahiran Fatmawati disambut gembira sampai orangtuanya telah menyiapkan dua nama, yaitu Siti Jubaidah yang diambil dari salah satu istri Nabi Muhammad SAW dan Fatmawati yang berarti bunga teratai. Saking bingungnya menentukan nama, akhirnya dilakukan pengundian dan keluarlah nama Fatmawati.

     Hasan adalah pegawai perusahaan “Borsumij” dengan pangkat Klerk, setara dengan bagian tata usaha. Sedangkan Siti Chodijah, ibu rumah tangga. Gaji Hasan cukup untuk memiliki rumah yang terletak di pasar Malbro, Kota Bengkulu, pusat kerisedenan Belanda masa itu. Fatmawati muda tumbuh di tengah keluarga yang sederhana dengan nilai-nilai keislaman yang kuat. Setiap sore, dia menimba ilmu Al-Qur'an dari kakeknya, Datuk Basaruddin.

    Ada kejadian unik yang menimpa Hasan. Pada satu waktu, dia didatangi ahli nujum yang meramal bahwa Fatmawati kelak akan menikah dengan seseorang yang memiliki kedudukan tinggi. Dengan latar belakang santrinya, Hasan tentu menolak segala ramalan. Apalagi, dalam pikirannya, istilah “memiliki jabatan tinggi” merujuk kepada pejabat Belanda.

     Namun, siapa sangka, Fatmawati remaja justru dipinang oleh Sukarno, lelaki berdarah Jawa-Bali yang kelak menjadi bapak proklamator sekaligus Presiden pertama Republik Indonesia.

     Kendati ramalan itu terwujud, kehidupan Fatmawati tidak mudah. Hidupnya berdampingan dengan bising peluru. Menderita akibat memperjuangkan kebenaran. Bahkan, ketika kemerdekaan yang dinanti telah tiba, dia harus berpisah dengan suaminya demi mempertahankan prinsip hidup.

    Lantas, bagaimana sesungguhnya kehidupan yang dijalani Fatmawati? Yuk simak biografi Fatmawati selengkapnya di bawah ini!

 

1. Tabah dalam menghadapi ujian yang membebankan ayahnya

     Ketika berusia enam tahun, Fatmawati menempuh pendidikan di Sekolah Gedang (sekolah rakyat). Kemudian, Hasan memindahkan Fatmawati ke HIS atau sekolah berbahasa Belanda pada 1930. Akibat pindah sekolah, dia harus menempuh jarak enam kilometer dari rumahnya. Setiap pagi, dia akan menumpang mobil Jeep pengangkut balok es, sedangkan pulangnya dia berjalan kaki dengan teman-temannya menerabas terik matahari dengan suka-cita.

     Situasi politik memaksa Hasan untuk memindahkan anaknya ke HIS Muhammadiyah saat kelas tiga. Hasan yang menjabat sebagai Konsul Perserikatan Muhammadiyah harus meninggalkan pekerjaan lamanya. Pendapatannya tidak seperti dulu. Dia harus berdagang untuk menghidupi keluarga kecilnya. Fatmawati bahkan membantu menjajakan kacang bawang atau sesekali menunggui warung di depan rumahnya.

     Mereka kemudian terpaksa pindah ke Palembang dan di sana Hasan membuka usaha percetakan. Fatmawati melanjutkan sekolahnya kelas 4 dan 5 di HIS Muhammadiyah Palembang. Karena usahanya kurang lancar, mereka akhirnya pindah lagi ke Curup, daerah antara Lubuk Linggau dengan Bengkulu. Di tengah impitan ekonomi, mereka harus berdagang sayur untuk menyambung hidup. Adapun Fatmawati terpaksa putus sekolah.

     Fatmawati merupakan sosok yang tabah. Dia tidak pernah mengeluh dengan diskriminasi kolonial yang merugikan keluarganya. Bahkan, Hasan pernah diinterogasi oleh Belanda ketika menjadi penyelenggara Kongres Besar Muhammadiyah. Dari pengalaman ayahnya, sedikit demi sedikit jiwa perlawanan muncul dalam benak Fatmawati.

2. Dilema pernikahan dengan Sukarno

      Ketika berusia 15 tahun, Fatmawati memutuskan untuk bergabung dengan perserikatan Muhammadiyah karena melihat penderitaan yang dialami masyarakat. Satu waktu, Fatmawati diajak ayahnya untuk mengunjungi Sukarno yang sedang diasingkan ke Bengkulu dari Flores. Betapa senangnya dia karena akan bertemu dengan sosok yang membuat penjajah kelimpungan.

    Fatmawati berusaha tampil seanggun mungkin. Dia mengenakan pakaian kurung merah hati serta tutup kepala tile kuning yang dibordir. Fatmawati bersama keluarganya mengunjungi kediaman Sukarno. Begitu tiba, dia tidak bisa menyembunyikan kekagumannya saat pertama kali bertemu dengan suami dari Inggrid itu. Dia melihat Sukarno sebagai sosok yang tidak sombong, sorot matanya berseri-seri, berbadan tegap, dan tawanya lebar.

     Hubungan Sukarno dengan keluarga Hasan semakin erat karena memiliki kesamaan visi. Saking dekatnya, Fatmawati menganggap Sukarno seperi orangtuanya sendiri. Atas bantuan Sukarno pula, Fatmawati kembali melanjutkan pendidikan di RKVakschool

    Menginjak usia ke-17, Fatmawati berhasil menamatkan sekolahnya. Ayahnya membelikan sepeda sebagai bentuk apresiasi. Sepeda itulah yang mengantarkan Fatmawati ke kediaman Sukarno karena ingin mendapat saran soal pinangan yang diterimanya dari lelaki Wedana. Alih-alih mendapat saran, Fatmawati malah terkejut dengan ekspresi Sukarno.

    Raut wajah Sukarno berubah. Dia terdiam. Menundukkan muka selama beberapa menit. Fatmawati segan untuk menegaskan kembali tujuan kedatangannya. Tanpa diduga, Sukarno justru mengutarakan cintanya kepada Fatmawati. Sontak, sang gadis gelisah. Kendatipun dia mengagumi Sukarno, dia tidak ingin merusak hubungannya dengan Inggrid. Dia juga tidak mau dimadu, apalagi dengan lelaki yang usianya sebaya dengan ayahnya. 

     Fatmawati yang galau meminta nasihat dari Hasan. Setelah berbincang dengan keluarga dan kerabat, Hasan mengutarakan keberatan akan rencana pernikahan tersebut. Mendengar penolakan tersebut, Hasan lebih terkejut kala mendengar jawaban Sukarno, “Ayah, ketahuilah jika Fatma tidak ku dapat, bestaat niet meer (maka Sukarno tidak akan ada di dunia ini)!”

     Fatmawati sadar keputusan keluarganya merupakan bagian dari adat masyarakat Bengkulu yang menentang poligami. Namun, dia tetap memendam rasa simpati terhadap lelaki yang sudah dianggapnya sebagai ayah itu.

 

3. Fatmawati akhirnya menikah dengan Sukarno

    Kabar retaknya rumah tangga Sukarno dengan Inggrid rupanya sampai di telinga Fatmawati. Namun, perseteruan Jepang dengan Belanda memaksa muda-mudi itu untuk terpisah. Di tengah pergolakan politik, hasrat untuk meminang Fatmawati tidak hilang. Dengan ala kadarnya, pernikahan mereka akhirnya berlangsung pada Juli 1942 kala Fatmawati berusia 20 tahun.

     Fatmawati menerima telegram yang isinya meminta Opseter Sarjono menjadi wakil Sukarno dalam acara perkawinan. Adapun Datuk Basarudin bertindak sebagai wali perempuannya. Karena Sukarno tidak berada di lokasi pernikahan, banyak keluarga Fatmawati yang menolak dengan rencana pernikahan itu.

     Terlepas dari kondisi yang tidak ideal, Fatmawati rupanya antusias dengan pernikahan itu. Bukan hanya dia tidak lagi menjadi tanggung jawab bagi orangtuanya, dia juga senang karena suaminya merupakan sosok besar yang membela kepentingan rakyat. Seusai pernikahan, Fatmawati hijrah ke Jakarta. Acara syukuran pernikahan diselenggarakan di rumah Sukarno, di Pegangsaan Timur No 56. Turut hadir Bung Hatta dan Ki Hajar Dewantara. 

    Kehidupan rumah tangga dua sejoli itu sangat harmonis. Kebahagiaan kian lengkap seiring kehamilan Fatmawati. Sukarno sangat bahagia. Dia akhirnya bisa memiliki buah hati yang sebelumnya tidak didapat dari Inggrid. Ketika usia kandungan Fatmawati sembilan bulan, dia diberikan dua blok kain berwarna merah dan putih dari pejabat Jepang. Sembari menunggu kelahiran, dua kain itu dia jahit dan dia simpan dengan harapan kelak bisa berguna bagi Bumi Pertiwi. 

     Anak yang dinanti akhirnya lahir pada 1944 sekitar pukul 05.00 WIB. Kelahiran Muhammad Guntur Sukarno didampingi oleh mertua Fatmawati yaitu Soekeni Sosrodiharjo dan Ida Ayu Nyoman Rai.

  4. Perjuangan Fatmawati dengan Sukarno menyambut kemerdekaan

    Mendekati pertengahan Agustus 1945, badai dan ombak mulai menghantam bahtera rumah tangga mereka. Sukarno difitnah sebagai antek-antek Jepang karena kedekatannya dengan sejumlah pejabat. Di sisi lain, dia juga didesak oleh berbagai kalangan untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia seiring kabar kekalahan Jepang.

     Pada 17 Agustus 1945, Fatmawati terkejut karena rumahnya didatangi banyak orang. Para pemuda meneriakkan Sukarno agar segera keluar rumah. Pada momen itulah, Sukarno dan Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Melihat peristiwa itu, Fatmawati segera berlari untuk mengambil bendera merah-putih. Betapa bahagianya Fatmawati ketika ia melihat bendera yang ia jahit telah berkibar menjadi pertanda kemerdekaan bangsa Indonesia.

     Ujian rumah tangga belum berhenti. Pascaproklamasi, Sukarno mendapat tekanan dari Jepang dan Belanda. Akhirnya, mereka terpaksa untuk mengungsikan Guntur yang masih balita ke Bogor. Mereka hanya bisa bertemu siang hari. Pada satu waktu, hati Fatmawati dirundung pilu ketika melihat Guntur yang sakit-sakitan.

    Situasi Jakarta semakin genting. Untuk menyelamatkan diri, Fatamawati pernah menyamar sebagai tukang pecel dan Sukarno sebagai tukang sayur berkaki pincang. Kegentingan itu berlangsung selama satu bulan.

    Fatmawati hadir sebagai sosok yang memberikan dukungan moril kepada suaminya. Setiap kali pulang ke rumah, dalam keadaan lusuh dan lelah, Sukarno selalu mendapatkan sajian makanan kesukaannya, seperti sayur lodeh rebung, rendang, balado ikan, teri goreng, ikan kuning, dan pepes daun singkong. Fatmawati merupakan salah satu sosok yang memelopori dapur umum untuk mendukung perjuangan para pembela kemerdekaan.

5. Perjuangan Fatmawati sebagai ibu negara

 Setelah kemerdekaan, Fatmawati harus hadir di sisi Sukarno sebagai ibu negara. Kala bertandang ke Cirebon, Sukarno pernah meminta Fatmawati untuk menyampaikan pidato setelah dirinya berorasi. Sontak Famawati bingung. Dia belum pernah berpidato di hadapan orang banyak.

 

    Sekilas terbesit untuk melantunkan Al-fatihah. Dia melakukan hal itu karena sadar orasinya tidak mungkin mampu mengalahkan “daya ledak” Sukarno. Dia malah lebih terkejut ketika mendapati tepuk tangan dari para hadirin yang terpesona dengan kemampuannya melantunkan ayat suci Al-Qur'an. 

    Perawakan Famawati sebagai perempuan nomor satu di Indonesia tetap sederhana. Kemana pun dia pergi, sehelai kain yang menutupi kepala menjadi ciri khasnya. Model kerudung seperti itu kemudian dikenal dengan istilah kerudung “Ibu Fatmawati”.

     Fatmawati beberapa kali mengikuti perhelatan Sukarno ke luar negeri. Dia pernah bertemu PM India Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri Pakistan Begun Aka Khan, dan Presiden Filipina. Keluarga Nehru dengan Sukarno dikenal memiliki hubungan baik. Sementara, Begun diceritakan terkesan dengan kemampuan Fatmawati dalam membaca Al-Qu'ran.

6. Rumah tangga Fatmawati kandas

   Pasangan Sukarno dan Fatmawati dianugerahi lima anak, yaitu Guntur Sukarnoputra, Megawati Sukarnoputri, Rachmawati Sukarnoputri, Sukmawati Sukarnoputri, dan Guruh Sukarnoputra.

    Ketika membesarkan Sukmawati, tubuh Fatmawati sudah tidak bisa menghasikan air susu ibu (ASI). Meski dia telah mengonsumsi sejumlah makanan yang disarankan dokter, seperti kacang panjang, bayam, daun turi, kangkung, dan Sawi, tetap saja usahanya sia-sia. Setelah melahirkan Guruh, Fatmawati mengalami pendarahan hebat. Dokter kemudian menyarankan supaya Fatmawati tidak lagi mempunyai anak.

    Ketika Guruh sedang sakit, Sukarno meminta izin kepada Fatmawati untuk menikahi Hartini. Betapa sakit hatinya mendengar ungkapan Sukarno. Fatmawati minta izin untuk kembali kepada orangtuanya dan segera menuntaskan permasalahan itu. Dia tetap memegang prinsipnya untuk tidak mau dimadu.

      Fatmawati kemudian memutuskan untuk tinggal di Jalan Sriwijaya, dekat dengan Masjid Baitul Rachim. Tidak ada keributan saat dia angkat kaki dari istana negara. Fatmawati tinggal seorang diri karena anak-anaknya tinggal di Istana Merdeka.

     Pada satu waktu, ada seseorang yang bertanya kepada Fatmawati mengenai momen terindah yang pernah ia lalui. Dengan penuh keyakinan, Fatmawati mengatakan bahwa sepanjang perjuangannya adalah masa yang membahagiakan. Meski hatinya hancur karena Sukarno, dia tetap mengagumi sosok suaminya yang telah berjasa besar bagi Indonesia.

7. Meninggal setelah umrah

   Di pengujung hidupnya, Sukarno pernah mendatangi Fatmawati di rumahnya untuk meminta maaf. Setelah itu, Sukarno jatuh sakit hingga tutup usia.

    Sementara, Allah SWT sepertinya memiliki cara yang sangat mulia ketika memanggil Fatmawati. Dia meninggal setelah menunaikan ibadah umroh. Di Tanah Suci, rupanya ada kejadian unik, yaitu ketika istri para pejuang kemerdekaan berkumpul. Di Makkah, Fatmawati bertemu dengan Rahmi Hatta (istri Bung Hatta) dan Siti Wahyunah (istri Syahrir).

    Jurnalis kondang Indonesia, Rosihan Anwar, pernah bertanya kepada Fatmawati “Bagaimana perasaan Anda berdoa di Masjidil Haram?” Fatmawati menjawab, “Seperti di alam surga, ternganga aku.”

     Dalam perjalanan pulang dari Saudi, ketika pesawat transit di Kuala Lumpur, Malaysia, tanpa diduga Fatmawati terkena serangan jantung. Fatmawati meninggal di General Hospital, Kuala Lumpur, pada 14 Mei 1980. Jenazahnya kini bersamayam di TPU Karet, Jakarta. Sama seperti Sukarno, dia enggan dimakamkan di Taman Makam Pahlanawan Kalibata.***